Senin, 14 September 2015

Ceraikan aku disaat yang tepat (true Story)

Saat aku tiba di rumah malam itu istriku telah menyiapkan makan malam. Aku memegang tangannya dan mengatakan, “Aku perlu memberitahumu sesuatu.” Ia duduk dan makan dalam diam. Lagi-lagi aku menyelidiki rasa sakit hati di matanya. 

Tiba-tiba tidak dapat membuka mulutku. Tapi aku harus memberitahunya apa yang aku pikirkan tentang perceraian. Aku membicarakan topik itu dengan sangat hati-hati. Ia nampak tidak terganggu oleh kata-kataku, justru bertanya, “Kenapa?”
Aku menghindari pertanyaannya. Itu membuatnya marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak ke arahku, “Kau bukan laki-laki!”
Malam itu kami tidak saling bicara. Aku tahu ia ingin tahu apa yang telah terjadi pada pernikahan kami. Tapi aku tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan; aku mencintai Jane. Aku sudah tidak mencintainya lagi, aku hanya merasa kasihan padanya.
Dengan perasaan bersalah, aku mengajukan permohonan perceraian yang mengatakan ia akan mendapatkan rumah kami, mobil kami, dan 30% saham di kantorku. Ia menatap kertas itu dan merobeknya. Perempuan yang telah menghabiskan 10 tahun waktunya telah menjadi orang asing buatku. Aku merasa menyesal akan waktunya yang terbuang, tenaganya, dan segalanya, tapi aku tidak dapat menarik kata-kataku. Aku mencintai Jane saat ini.
Akhirnya ia menangis sejadi-jadinya di depanku, yang sudah kubayangkan sebelumnya. Bagiku tangisannya merupakan sebuah kelegaan. Gagasan tentang perceraian yang telah ku tahan selama beberapa minggu ini menjadi kian jelas, dan aku makin mantap.
Esoknya aku pulang terlambat dan melihatnya sedang menulis sesuatu di meja makan. Aku langsung menuju kamar untuk tidur setelah seharian menghabiskan waktuku bersama Jane. Ketika aku bangun, ia masih duduk sambil menulis.
Paginya ia menyampaikan persyaratan perceraian. Ia tidak menginginkan apa-apa dari ku, namun ia ingin pemberitahuaan sebulan sebelum perceraian. Ia meminta selama satu bulan kami berdua berjuang sekuat tenaga hidup senormal mungkin. Alasannya sederhana: anak kami akan menjalani ujian dan ia tidak ingin kabar perceraian kami merusak konsentrasi anak kami.
Aku menyetujui permintaannya, tapi ia ingin satu hal lagi. Ia ingin aku mengingat kembali bagaimana aku menggendongnya di ruang pengantin saat hari pernikahan kami. Ia meminta itu dilakukan selama satu bulan, aku menggendongnya dari kamar ke depan pintu setiap hari. Aku pikir ia jadi gila, tapi untuk melancarkan segalanya aku menyetujui permintaannya yang aneh.
Aku memberi tahu Jane tentang permintaan istriku. Ia tertawa dan berpikir itu hal yang absurd. “Tak peduli trik apapun yang ia lakukan, ia harus menghadapi perceraian.” Kata Jane.
Istriku dan aku tidak pernah bersentuhan sejak aku meminta untuk bercerai. Jadi saat aku menggendongnya di hari pertama, kami bertingkah sedikit kikuk. Putra kami bertepuk tangan di belakang kami, “Ayah menggendong ibu di lengannya.”
Kata-katanya membuatku sakit. Dari kamar ke ruang keluarga hingga ke pintu, aku berjalan sekira 10 meter dengan ia di lenganku. Ia menutup matanya dan dengan lembut berkata, “Jangan bilang pada anak kita tentang perceraian.”
Aku mengangguk, dan merasa marah tanpa alasan yang jelas. Aku meletakkannya di depan pintu. Ia berjalan untuk menunggu bis. Aku menyetir sendirian ke kantor.
Hari kedua, kami melaluinya dengan lebih lancar. Ia bersandar di dadaku. Aku dapat mencium aromanya dari baju yang ia kenakan. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan perempuan ini dengan sungguh-sungguh dalam waktu lama. Aku menyadari ia tidak muda lagi. Ada kerutan di wajahnya, rambutnya mulai beruban. Pernikahan kami telah membawa beban berat baginya, dan dalam satu menit aku memikirkan apa yang telah aku lakukan padanya.
Di hari ke empat, saat aku menggendongnya, aku merasakan keintiman mulai kembali. Ini adalah perempuan yang telah memberikan 10 tahun hidupnya untukku. Di hari ke lima dan ke enam, aku menyadari keintiman kami mulai tumbuh. Aku tidak memberitahu Jane soal ini. Lama-lama rasanya lebih mudah menggendonya. Mungkin olah raga tidap hari membuatku lebih kuat.
Ia sedang memilih-milih baju apa yang akan ia kenakan hari ini. Ia mencoba beberapa baju tapi tidak dapat menemukan yang pas. Kemudian ia menghela nafas, “Semua bajuku bertambah besar.” Aku tiba-tiba menyadari ia sangat kurus, dan itulah mengapa aku dapat menggendongnya dengan sangat mudah.
Tiba-tiba aku merasa seperti ditampar. Ia mengalami begitu banyak luka dan sakit hati. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan dan memegang kepalanya.
Anak kami datang dan mengatakan, “Ayah, ini saatnya membawa ibu keluar.” Baginya, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar telah menjadi hal yang penting dalam hidupnya. Istriku memberi aba agar anak kami mendekat dan memeluknya dengan kuat. Aku memalingkan wajahku karena aku takut berubah pikiran di menit-menit terakhir. Aku kemudian menggendongnya, berjalan dari kamar, melewati ruang keluarga dan lorong. Tangannya melingkar di leherku dengan sangat natural dan lembut. Aku memegang badannya dengan kuat, sama seperti di hari pernikahan kami.
Namun, beratnya yang makin ringan tidap harinya membuatku sedih. Di hari terakhir, saat aku menggendongnya aku tidak dapat melangkah. Anak kamu telah berangkat ke sekolah. Aku memeluknya kuat dan mengatakan, “Aku tidak menyadari jika hidup kita begitu mesra.”
Aku berangkat ke kantor, keluar dari mobil terburu-buru. Aku takut segala penundaan akan mengubah pikiranku. Aku jalan ke atas. Jane membuku pintunya. “Maaj, Jane, aku tidak lagi menginginkan perceraian.”
Ia menatapku, bingung, dan memegang keningku. “Apakah kamu demam?” Ia bertanya.
Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane.” Kataku. “Aku tidak ingin bercerai. Pernikahanku mungkin menjadi membosankan karena aku tidak menghargai setiap detail hidupku, bukan karena aku dan dia tidak lagi saling mencintai. Sekarang aku menyadari sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, aku seharusnya memegangnya hingga maut memisahkan.”
Jane tiba-tiba sadar. Ia menamparku dengan keras, membanting pintu, kemudian menangis. Aku turun dan pergi. Di jalan menuju rumah aku singgah di toko bunga dan membelikan satu buket untuk istriku. Penjaga toko bertanya apakah aku ingin menuliskan sesuatu. Aku tersenyum dan menulis. “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai maut memisahkan kita”.
Sore itu aku sampai di rumah, dengan bunga di tanganku dan senyum menghiasi wajahku. Aku lari ke kamar dan menemukan istriku, telah meninggal. Istriku telah berjuang melawan kanker selama beberapa bulan ini, tapi aku terlalu sibuk dengan Jane dan tidak menyadarinya. Ia tahu jika ia akan meninggal dalam waktu dekat dan ingin menyelamatkanku dari reaksi negatif yang akan dipikirkan anak kami. Paling tidak di mata anak kami aku adalah suami yang penyayang.

by Facebook Comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar